Sebagaimana kita pahami bahwa suatu pemerintahan negara tidak akan
mungkin untuk berjalan efektif tanpa adanya legitimasi yang penuh.
Pemerintahan negara dan alat perlengkapannya sebagai instrumen penataan
masyarakat yang memegang kekuasaan politik utama harus memiliki
pembenaran atau pendasaran yang sah(legitimasi) atas kekuasaan yang
dijalankannya agar ia dapat efektif.
Dalam ilmu negara umum disebutkan bahwa keberadaan negara (existence) dapat dibenarkan berdasarkan sumber-sumber kekuasaan antara lain:
1. Kewenangan langsung maupun yang tidak langsung dari Tuhan
Semesta Alam, yang diterapkan dalam bentuk konstitutif dan kepercayaan
yang diformalkan dalam ketentuan negara (Teori Teokrasi);
2. Kekuatan jasmani maupun rohani, serta materi (finansial) yang
diefektifkan sebagai alat berkuasa, dalam bentuknya yang modern seperti
kekuatan militer yang represif, kharisma para rohaniawan yang
berpolitik, atau dalam bentuk money politics (Teori Kekuatan);
3. Ada perjanjian, baik yang dipersepsi sebagai perjanjian perdata
maupun publik, serta adanya pandangan dari perspektif hukum keluarga
dan hukum benda ( Teori Yuridis).
Secara rasional, pemerintah mana pun di
dunia tidak mungkin lagi menyadarkan klaim wewenang dan kekuasaannya
atas dasar kekuatan fisik angkatan perang (militer) yang represif atau
mitos-mitos feodlistik maupun teokratik. Klaim-klaim yang bersifat tidak
rasional dan dipaksakan semakin lama akan semakin ditinggalkan sejalan
dengan kemajuan gerakan-gerakan pemikiran kritis filsafat dan politik
serta perkembangan teknologi yang menafikan irasionalitas. Dapat
disimpulkan bahwa tanpa legitimasi yang rasional dan objektif, suatu
negara tidak akan mungkin berjalan efektif.
Secara garis besar ada empat teori legitimasi yang menjadi pembenaran (dasar pembenar) kekuasaan negara, yaitu sebagai berikut.
a. Legitimasi Teologis
Bangsa Indonesia mengakui kemerdekaan negaranya sebagai rahmat Allah
Yang Mahakuasa. Keberadaan negara juga dibenarkan sebagai perpanjangan
tangn dari kekuasaan Tuhan yang memerintahkan hamba-Nya agar hidup
teratur dalam mengabdi pada-Nya. Bernegara merupakan manifestasi
pengabdian hamba terhadap Khaliqnya, Pandangan ini kerapkali disebut
teokratis. Namun, sebenarnya lebih tepat dinyatakan sebagai teosentris
(berorientasi kepada Tuhan) sebagai wujud bangsa yang religius, yaitu
bahwa Tuhan diinsyafi telah memberikan berkah dan rahmat-Nya bagi bangsa
Indonesia merupakan wujud legitimasi teologis yang kita sadari.
b. Legitimasi Sosiologis
Pengakuan masyarakat atas adanya kekuasaan negara biasanya terlihat
dari kenyataan politik yang menunjukkan adanya kekuatan kelembagaan
negara yang menguasai peri kehidupannya sebagai warga negara. Pengakuan
ini kemudian menjadi persetujuan sosial di mana rakyat tunduk kepada
ketentuan-ketentuan negara. Misalnya, negara dibenarkan dapat
mengeluarkan ‘sertifikat hak milik’ atas tanah untuk diberikan kepada
warga negaranya yang telah memiliki persyaratan untuk itu.
c. Legitimasi Yuridis
Pembenaran dari sudut hukum (yuridis) terlihat dari adanya dasar
hukum yang jelas (legalitas) atas keberadaan entitas negara. Negara
Republik Indonesia dengan proklamasi keberadaannya sebagai nation-state baru.
Entitas negara baru ini masuk dalam pergaulan masyarakat hukum
internasional pada tanggal 17 Agustus 1945. Dari sudut teori kontrak,
proklamasi ini adalah unilateral contract yang mendapat pengakuan dari dunia internsional sebagai subjek hukum internasional
baru yang memiliki hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat
hukum internasional. Keberadaan konstitusinya, UUD 1945, menegaskan
dasar yuridis eksistensi ketatanegaraannya sebagai komunitas politik
yang mandiri (independen); tidak berada di bawah kedaulatan negara lain
dan mampu mempertahankan kemerdekaan secara politik maupun sosiologis.
Keberadaan unsur-unsur negara dan adanya pengakuan internasional menjadi
dasar legitimasi konstatasi de jure bagi Republik Indonesia.
d. Legitimasi Etis (Filosofis)
Pendasaran keabsahan keberadaan negara secara etis dapat dilihat dari
pendapat Wolf dan Hegel. Pembentukan negara merupakan keharusan moral
yang tertinggi (Wolf) untuk mewujudkan cita-cita tertinggi dari manusia
dalam suatu entitas politik yang bernama negara (Hegel). Tindakan
berkuasa dari negara dibenarkan karena negara memang merupakan cita-cita
manusia yang membentuknya. Dalam konteks Negara Republik Indonesia,
secara etis keberadaan negara juga dimaksudkan untuk merealisasi
tujuan-tujuan etis secara kolektif.
Dalam hal ini suatu regime pemerintahan negara sudah
semestinya berdiri tegak di atas legitimasi yang kokoh (penuh).
Legitimasi yang kokoh ini tidak hanya bersifat sosiologis- dalam arti
mendapat pengakuan masyarakat- dan bersifat yuridis, dalam arti berlaku
sebagai hukum positif dalam format yuridis-ketatanegaraan tertentu,
melainkan lebih dalam lagi, yaitu absah (legitim) secara etisfilosofis.
Dalam hal ini perlu ditegasklan bahwa legitimasi politik tidak selalu
sama dengan legitimasi moral (etis-filosofis). Legitimasi politik
secara sederhana dapat dipahami sebagai legitimasi sosial (sosiologis)
yang telah mengalami proses artikulatif dalam institusi-institusi
politik yang representatif.
Proses tarik-menarik kepentingan kekuasaan yang telah tersimpul
menjadi keputuan politik itu disebut memiliki legitimasi politik.
Artinya, legitimasi politik dapat dipahami pula sebagai legitimasi sosiologis yang telah mengalami
proses transformasi politis. Sementara itu, legitimasi moral (etis)
mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma
moral, bukan dari segi kekuatan politik riil yang ada dalam masyarakat,
bukan pula atas dasar ketentuan hukum (legalitas) tertentu. Dengan
demikian, “tidak seluruh legitimasi politik langsung dapat dikatakan berlegitimasi etis”.
Legitimasi etis (filosofis) merupakan penyempurna akhir
dari kemauan dan kemampuan berkuasa. Walaupun seorang atau suatu
pemerintahan memilikibanyak legitimasi sebagai background
kekuasaannya, legitimasi akhir dan terus-menerus (kontinu) merupakan
legitimasi etisnya. Tanpa legitimasi etis yang kontinu berpihak pada
kepentingan kemanuasiaan, suatu kekuasaan pemerintahan hanya menunggu
waktu untuk dijatuhkan; apakah itu lewat demonstrasi ‘people power’ ,
revolusi atau reformasi (evolusi), maupun penggantian lewat mekanisme
konstitusional; yang jelas akan ada gerakan reformasi untuk mendudukkan
kekuasaan pada proporsi pertanggungjawaban politiknya yang konkret dan
etis.
Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang memiliki legitimasi itu tidak memliki kecakapan (skill) yang cukup untuk melakukan pengelolaan (manajemen) negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh capability dan capacity untuk
mengimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat; rakyat
sebagai pemegang legitimasi tertinggi. Keamanan dan kesejahteraaan
rakyat merupakan ukuran utama dalam menilai kemampuan legitimasi
kapabilitas pemerintahan negara.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimen (absah) tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya. Pemerintah yang sah (legitimed government) tidak selalu cakap dalam mengelola negara adalah hal yang harus kita sadari sebagai hal yang tersendiri.
Sumber:
Nurtjahjo, Hendra. 2005. Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
By@Si OTAK MATI
Rabu, 09 Oktober 2013
Teori Pembenaran Negara
08.50
si OTAK MATI
No comments
0 komentar:
Posting Komentar
Thankz For Your Koment